Robert Wolter Mongisidi lahir di desa
Mamalayang, Manado, pada tanggal 14 Februari 1925. Ia baru duduk dikelas 2 MULO
(Setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) pada waktu Perang Pasifik pecah.
Pada masa kependudukan Jepang ia memasuki sekolah bahasa Jepang.
Baca Selengkapnya
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, Mongisidi
berada di Ujungpandang. Waktu itu Unjungpandang dan beberapa tempat lain di
Sulawesi Selatan sudah diduduki oleh NICA/Belanda. Pada tanggal 27 Oktober 1945
Mongisidi memimpin serangan terhadap pos tentara Belanda dalam kota itu. Mongisidi
diangkat menjadi sekretaris Jenderal. Ia bertugas pula merencanakan
operasi-operasi militer. Sering ia masuk kota menyamar sebagai Polisi Tentara
Belanda, sehingga dapat mengetahui rahasia musuh dan dapat menentukan sasaran
serangan.
Belanda membujuk Mongisidi untuk
bekerjaa sama. Dengan tegas bujukan itu ditolaknya. Kemudian, pengadilan
Kolonial Belanda menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Keputusan pengadilan
diterimanya degan tabah, dan menolak untuk meminta ampun. Masyarakat menjadi
gempar, lalu mengajukan permohonan supaya hukuman tersebut dibatalkan. Tetapi,
penguasa Belanda tetap pada pendiriannya.
Pagi hari tanggal 5 September 1949
Wolter Robert Mongisidi dibawa ke Pacinang untuk menjalani hukuman mati. Dengan
tenang ia menghadapi regu penembak dan menolak untuk menutup mata dengan kain.
Tangan kirinya memegang Injil, sedangkan tangan kanan mengepalkan tinju sambil
memekikkan teriak “Merdeka”! Dalam kitab Injil ditemukan secarik kertas berisi
kata-kata , “Setia hingga terakhir dalam keyakinan.” Pada tanggal 10 November
1950 kuburannnya dipindahkan ke Taman Pahlawan Ujungpandang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar